Google

Rabu, 12 Maret 2008

HELP RECOVER YOGYAKARTA


JOGJAKARTA EARTHQUAKE

According to the Indonesian Institute for Meteorological and Geophysics (BMG), the strong earthquake that hit Jogyakarta and part of Central Java on May 27, 2006, have magnitude of 5.9 at Richter-scale. The epicenter was detected at 37 kilometer south of Jogyakarta Town, at longitude of 8.24 degree south and latitude 110.43 degree east, at 33,000 meter isodepth. The quake was generated by continuing subduction of Indo-Australian and Eurasian plates that moving at a relatively high speed of averagely 5-7 meter per year. Two of most devastated area by the earthquake of May 27, 2006, i.e. District of Bantul in Jogyakarta and the District of Klaten in Central Java, are precisely situated in a quake's vurnerable path of Opak Creek, one of the very important geological formation of Java Island. After the biggest shake in the morning of 27 May 2006, some following shakes are still happening 4-5 times a day until now (11 June 2006) but not so strong anymore. The stronger one is on last Friday noon, 9 June 2006, 11:24 local time, reported by BMG at magnitude of 3.4 of Richter-scale.

CASUALTIES of EARTHQUAKE in JOGYAKARTA & CENTRAL JAVA (up to 6 June 2006)

No

DISTRICTS

PEOPLE

DAMAGED HOUSES

DIED

INJURED

FLATTENED

HEAVY

MINOR

PROVINCE of JOGYAKARTA

1

Bantul

4,280

12,023

28,939

40,038

30,906

2

Sleman

285

3,792

5,243

16,003

33,233

3

Jogyakarta Town

185

320

2,164

4,577

2,617

4

Kulon Progo

21

1,508

3,872

5,251

8,888

5

Gunung Kidul

84

1,059

13,543

4,718

16,742

SUB-TOTAL

4,805

18,702

53,761

70,587

92,386

PROVINCE of CENTRAL JAVA

6

Klaten

1,036

18,128

30,298

61,224

93,628

7

Other districts nearby

16

399

584

3,237

2,220

SUB-TOTAL

1,052

18,527

30,882

64,451

95,848

TOTAL

5,857

37,229

84,643

135,048

188,234

source: Media Center Jogyakarta, field stations, and local government bodies.



Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi

Modal fisik, tenaga kerja dan kemajuan teknologi adalah tiga faktor pokok masukan (input) dalam produksi pendapatan nasional. Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Di negara berkembang dan terbelakang, laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada di negara maju. Meski demikian, umumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di negara maju. Kenapa demikian?

Jawabnya adalah: kedua faktor selain tenaga kerja, sangat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.

Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS pada periode 1948-79.

Tetapi, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Bila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen.

Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas.

Lalu pertanyaan, apa ukuran yang menentukan kualitas manusia? Ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara berbagai aspek ini, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Lewat pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik.

Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Ini adalah anggapan umum, yang secara teoritis akan diuraikan lebih detail.

Kerangka Teoritis

Dewasa ini berkembang paling tidak tiga perspektif secara teoritis yang menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yakni teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial.

Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadian Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini.

Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi.

Pada tahun 70-an, teori ini mendapat kritik tajam. Argumen yang disampaikan adalah tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Juga ditekankan bahwa dalam ekonomi modern sekarang ini, angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan lagi karena perkembangan teknologi yang sangat cepat dan proses produksi yang semakin dapat disederhanakan.

Dengan demikian, orang berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya noon formal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal. Argumen ini diformalkan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori alokasi atau persaingan status yang mendapat dukungan dari Lester Thurow (1974), John Meyer (1977) dan Randall Collins (1979).

Teori persaingan status ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata pendidikan. Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang untuk mengambil pendidikan lebih tinggi. Meskipun orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang bependidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi.

Akan halnya teori pertumbuhan kelas atau strata sosial berargumen bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan ketidakseimbangan sosial. Pendidikan pada kelompok elit lebih menekankan studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Sementara pendidikan untuk rakyat kebanyakan diciptakan sedemikian rupa untuk melayani kepentingan kelas yang dominan. Hasilnya, proses pertumbuhan kelas menghambat kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini didukung antara lain oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976).

Teori mana yang relevan dalam situasi sekarang? Seperti disebutkan di atas, pandangan baru dalam pertumbuhan produktivitas, yang dimulai pada akhir 1980-an dengan pionir seperti Paul Romer dan Robert Lucas, menekankan aspek pembangunan modal manusia.

Menurut Romer misalnya (1991), modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara dimana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi.

Karena modal manusia, seperti dikemukakan dalam awal tulisan ini, memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi.

Secara implisit, pendidikan menyumbang pada penggalian pengetahuan. Ini sebetulnya tidak hanya diperoleh dari pendidikan tetapi juag lewat penelitian dan pengembangan ide-ide, karena pada hakikatnya, pengetahuan yang sama sekali tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan manusia akan mubazir.

Karenanya, aspek penelitian dan pengembangan menjadi salah satu agenda utama apabila bangsa Indonesia berkeinginan untuk hidup sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah jauh lebih maju. Dengan keterbatasan modal kapital dan manusia, tugas pengembangan penelitian ini tidak mungkin hanya diusahakan pemerintah. Seharusnya, pihak swasta menjadi ujung tombak dalam usaha kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Realitas di Indonesia

Akan tetapi, umumnya sektor swasta masih melihat investasi modal fisik sebagai satu-satunya faktor utama dalam pengembangan dan akselerasi usaha. Untuk memenuhi kebutuhan modal manusianya, sektor swasta cenderung mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Dalam jangka pendek cara ini mungkin ada benarnya. Tetapi dalam jangka panjang tentu sangat tidak relevan, apalagi untuk sebuah usaha berskala besar atau yang sudah konglomerasi.

Bila dilihat dari besarnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kondisi ini tidak lebih baik. Dibanding China dan Singapura, Indonesia jauh lebih kecil. Demikian juga dari besarnya investasi pendidikan yang dilakukan di luar negeri. Singapura, yang berpenduduk tidak sampai setengah penduduk Jakarta, mengirim mahasiswa ke AS hampir setengah jumlah mahasiswa Indonesia di AS.

Sesuai dengan berbagai kesepakatan regional dan internasional di bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan dengan situasi persaingan yang amat ketat. Dalam situasi ini, daya saing kompetitif produk/komoditi tidak mungkin dikembangkan jika tidak diimbangi daya saing kompetitif sumberdaya manusia. Dalam arti, mengandalkan keunggulan komparatif sumberdaya manusia yang melimpah dan murah sudah kurang relevan.

Dengan demikian, peningkatan investasi di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan tidak bisa dihindarkan lagi, baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta. Sebenarnya, setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran sektor pendidikan. Masalahnya, angka dan peningkatan ini secara absolut relatif sangat kecil, sehingga masih jauh bila dibanding negara-negara tetangga yang sangat serius dalam pengembangan sumberdaya manusia. Persentase investasi pendidikan sekitar 10-15 persen dari total anggaran pemerintah mungkin adalah hal yang wajar.

Demikian juga sektor swasta. Selama ini belum ada aturan yang menggariskan berapa persen biaya pengembangan sumberdaya manusia serta penelitian dan pengembangan dari struktur biaya perusahaan dalam industri nasional. Di sektor perbankan sempat ada ketentuan yang menetapkan biaya pengembangan sumberdaya manusia 5 persen dari profit. Akan tetapi, angka ini relatif sangat kecil, karena biaya pengembangan tersebut dibebankan pada profit, tidak sebagai beban input.

Dengan pendekatan beban input, proporsi sekitar 10-15 persen dari total biaya juga merupakan hal yang wajar. Barangkali dalam pelaksanaannya, tidak salah jika BUMN menjadi pionir.

Fundamental Causes of National Unity Crisis

Understanding the problem is the first step to overcoming it. Bertrand Russell.

A slightly modification of an article appeared in the Jakarta Post Nov, 1999 .


Today we are living in a rapidly changing world. Revolution is not only taking place in the business world through the creation of computers and their apparatus, but also occurring in every aspect of our lives. In the early of 90s, no one was able to foresee the end of New Order regime and the independence of East Timor. Everything changes so swiftly and unpredictably that often catches us unprepared to anticipate its consequences.

The diverse and rather haphazard reactions to democracy and reformation indicate our unreadiness in anticipating the consequences of reformation we are actively promoting. We have been preoccupied by our efforts to manage crisis in Molucca and Aceh until we are shaken by other similar events in Poso and Irian Jaya.

Widely regarded that the current unity crisis is driven by the heterogeneity of our ethnic, religion and race. This is supported by John Galtung in his book True World: A Transnational Perspective (1980). Galtung, a preeminent humanist, identifies three main causes of secessionist movements. Firstly, a relation of dominance, establishing dominator and dominated. Secondly, a high correlation between the dominator-dominated dimension and geographical location. Thirdly, a high correlation between the dominator-dominated dimension and ethnical or religious factor.

Galtung’s thesis applies to the recent movement in the Balkans where the dominated Kosovar and Bosnian ethnic people fought for their independence. The vacuum of absolute domination by a certain ethnic or religion in our country, however, compels us to seek more reasonable factors.

One of the fundamental causes is the unequal relationship between central and regional governments developing during New Order era. During the era, regional governments were basically treated like subordinates, not partners by central government in managing regional development. Central planners in Jakarta designed and implemented the blueprints of development, setting aside local and regional governments as secondary actors and in some cases just spectators.

Often, their inadequate understanding of local conditions resulted in controversial policies like the operation of Inti Rayon pulp factory in Porsea, North Sumatra. Local people rejected the operation of the factory but central government stubbornly ignored them until finally it was shut down when Jakarta was no longer able to control the situation.

To make matters worse, regional leaders that were generally appointed by Jakarta, also lacked understanding of local issues. In addition, their main priority was to serve central officials who were frequently treated like a king. My experience when a minister visited my hometown some years ago supports this assertion. The local government was very busy decorating the city and even sending students on vacation just to greet the minister.

Another major cause is a fundamental misconception that occurred in our economic development strategy. The central planners were too smart to ignore the reality that strong regional economies are the key to successful national development, not the other way around. Not only did it create serious regional disparities but also caused some regions far left behind compared to the nation as a whole.

According to data released by the Central Bureau of Statistics in 1998, the average per capita income of 19 provinces was 1,48 million rupiah, much lower compared to the national per capita income of 2,17 million rupiah. Per capita income in Jakarta was ten-fold that of Eastern Southeast Nusa and nine-fold that of Southeast Sulawesi.

During period of 1967-98, total approved domestic investment in five provinces was 12 trillion rupiah, much less compared to that of West Java that received 195 trillion rupiah. Foreign investment approvals in eight provinces were only $2,6 billion while, at the same period, West Java secured $64 billion.

Regional indicators of human basic needs such as access to health services, better education, clean water and sanitation are even more dismal. In eight provinces, ratio of student to teacher at elementary level was still much higher compared to the national average of 23 students per teacher. Population per public health center in eight provinces was 360, too high compared to the national average of 274.

Around 34 percent of households in 17 provinces do not have access to sanitation, while the national average is 24 percent. On average, 30 percent of households in 12 provinces do not have access to clean water, too high compared to the national average of 12 percent.

The disparities are further aggravated by capital drainage from local economies. Regional investment projects, mostly owned by foreign and central investors from rich provinces such as Jakarta and West Java, not only failed to boost the income of local people, but also pushed the capital outflows from peripheries to central. As a result, capital outflows from local economies are much greater than the capital inflows. In addition, central or foreign companies acquire most projects, leaving local companies with the marginal ones.

Unity based on mutually beneficial and equal cooperation between regional and center governments is more stable than superficial unity imposed by force. Consequently, there is no other alternative except to decentralize our economic and political policies, and to change the nature of relationship between central and regional governments from subordinate to partnership. This can be achieved without transforming the nation from unity into federation.

The great philosopher Bertrand Russell once remarked, “understanding the problem is the first step to overcoming it.” Without understanding the fundamental causes of the present crisis, it is impossible to formulate and implement an accurate policy aiming to keep our nation together as one.

HELP RECOVER YOGYAKARTA


JOGJAKARTA EARTHQUAKE

According to the Indonesian Institute for Meteorological and Geophysics (BMG), the strong earthquake that hit Jogyakarta and part of Central Java on May 27, 2006, have magnitude of 5.9 at Richter-scale. The epicenter was detected at 37 kilometer south of Jogyakarta Town, at longitude of 8.24 degree south and latitude 110.43 degree east, at 33,000 meter isodepth. The quake was generated by continuing subduction of Indo-Australian and Eurasian plates that moving at a relatively high speed of averagely 5-7 meter per year. Two of most devastated area by the earthquake of May 27, 2006, i.e. District of Bantul in Jogyakarta and the District of Klaten in Central Java, are precisely situated in a quake's vurnerable path of Opak Creek, one of the very important geological formation of Java Island. After the biggest shake in the morning of 27 May 2006, some following shakes are still happening 4-5 times a day until now (11 June 2006) but not so strong anymore. The stronger one is on last Friday noon, 9 June 2006, 11:24 local time, reported by BMG at magnitude of 3.4 of Richter-scale.

CASUALTIES of EARTHQUAKE in JOGYAKARTA & CENTRAL JAVA (up to 6 June 2006)

No

DISTRICTS

PEOPLE

DAMAGED HOUSES

DIED

INJURED

FLATTENED

HEAVY

MINOR

PROVINCE of JOGYAKARTA

1

Bantul

4,280

12,023

28,939

40,038

30,906

2

Sleman

285

3,792

5,243

16,003

33,233

3

Jogyakarta Town

185

320

2,164

4,577

2,617

4

Kulon Progo

21

1,508

3,872

5,251

8,888

5

Gunung Kidul

84

1,059

13,543

4,718

16,742

SUB-TOTAL

4,805

18,702

53,761

70,587

92,386

PROVINCE of CENTRAL JAVA

6

Klaten

1,036

18,128

30,298

61,224

93,628

7

Other districts nearby

16

399

584

3,237

2,220

SUB-TOTAL

1,052

18,527

30,882

64,451

95,848

TOTAL

5,857

37,229

84,643

135,048

188,234

source: Media Center Jogyakarta, field stations, and local government bodies.



Google